Segenap kru batakpost.com mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1445 H/2024, Semoga doa dan usaha kita diterima oleh Allah Swt. Taqabbalallahu minna wa minkum. Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.
Gaya HidupNasional

Waduh…Bahasa Batak Akan Punah dalam Tiga Generasi Mendatang

417
×

Waduh…Bahasa Batak Akan Punah dalam Tiga Generasi Mendatang

Sebarkan artikel ini
Salahsatu buku pelajaran Surat Batak. (Int)
Advertisement
Example 300x600
Advertisement

JAKARTA- Bahasa Batak akan punah dalam tiga generasi mendatang? Mungkinkah? Kemungkinan besar demikian. Sejauh ini menurut Saut Poltak Tambunan: “Penutur Bahasa Batak makin berkurang setiap tahunnya.”

Sekitar 2 juta dari 8,5 juta orang yang masih aktif berbahasa Batak. Setiap tahun makin berkurang jumlahnya. Kalau dibiarkan, maka pada masa tertentu Bahasa Batak akan punah.

Advertisement
banner 325x300
Advertisement


Ada kegelisahan generasi tua dan generasi masa kini dengan makin berkurangnya penutur Bahasa Batak.

Kegelisahan tersebutlah yang mendorong mereka mengangkat topik Diskusi “Palumehon Hata Batak: Menggugat Tanggung Jawab Pewarisan Bahasa Batak.” Topik diskusi tersebut diselenggarakan oleh Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) tahun lalu di Jakarta, sebagaimana dilansir dari http://danautoba.org.

Diskusi ini menghadirkan Saut Poltak Tambunan (Wakil Ketua Departemen Budaya, Nilai Adat, dan Habatakon YPDT).

“Bagaimana Bahasa Batak ke depan?” tanya Tambunan mengawali diskusi. Bahasa Batak ke depan berada pada situasi kritis jika tidak ada palumehon.

Palumehon artinya mewariskan, tetapi lebih dalam lagi dapat diartikan menitipkan untuk dipelihara dan dijaga, lalu diwariskan.

“Kalau tidak dilakukan palumehon Bahasa Batak, maka mate ponggol ma hata Batak (mate ponggol dalam artian tarombo atau silsilah marga adalah orang Batak yang meninggal tanpa anak laki-laki sebagai pewaris marga),“ tegas sastrawan Batak ini.

Apa persoalan Bahasa Batak “mate ponggol”? Paling sedikit ada dua alasan.

Pertama, orang-orang Batak yang terserak keluar dari kampung halamannya (bonapasogit) banyak yang tidak palumehon hata Batak kepada generasi berikutnya (anak-anak dan cucu-cucunya). Faktor kawin campur menjadi salah satu penyebab yang signifikan.

Kedua, Pada masa kini orang-orang Batak di bonapasogit pun tidak tegas mewajibkan anak-anak dan cucu-cucunya mempergunakan bahasa ibunya (Bahasa Batak) sebagai bahasa utama dalam berkomunikasi.

Anak-anak dan kaum muda Batak cenderung menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama dalam berkomunikasi.

“Tahun 1990, sudah 75% tersisa bahasa ibu. Hanya 3 generasi maka Bahasa Batak akan punah, kalau kondisinya seperti ini terus-menerus,” ungkap Tambunan yang sedikitnya sudah menerbitkan 60-70 karya sastra berbahasa Batak.

Ajakan agar bangga menjadi orang Batak. (int)

Orang banyak mengatakan bahwa tidak mudah menerjemahkan Bahasa Batak ke Bahasa Indonesia. Tahun 2012, Saut Poltak Tambunan telah menulis Novel untuk anak-anak dwi bahasa (Bahasa Batak dan Bahasa Indonesia) dengan judul “Mandera na Metmet” (“Bendera Kecil”).

“Saya memerlukan 18.818 kata dalam 116.250 karakter termasuk spasi untuk Bahasa Bataknya, sedangkan untuk Bahasa Indonesianya hanya memerlukan 14.411 kata dalam 99.938 karakter,” singkap Tambunan.

Kita mengenal tiga kategori (rangsa) dalam Bahasa Batak, yaitu: (1) rangsa ni hata siganup ari (bahasa percakapan sehari-hari), (2) rangsa ni andung (bahasa dalam syair-syair ratapan), dan (3) rangsa ni hadatuon (bahasa dalam mantera, ilmu perdukunan, pengobatan, dan nujum).

Banyak orang merasa malu menunjukkan identitas primordialnya. Menurut mereka bahwa bahasa daerah itu anakronis, ketinggalan zaman, dan tidak ada manfaatnya untuk meraih masa depan.

Pembiaran (permissiveness) dalam kesalahan berbahasa Batak pun berlangsung masif. Tidak ada pihak yang merasa perlu dan berkepentingan terlebih berkewajiban untuk memperbaikinya.

Dalam situasi sekarang ini, makin ironis. Anak-anak muda masa kini berlomba-lomba agar tidak kelihatan kebatakannya.

Banyak gaya yang mereka buat-buat. Orang Batak pun makin enggan menunjukkan nama Bataknya dan kalau punya anak tidak akan diberi nama Batak. Padahal ini juga turut berkontribusi menghilangkan bahasa Batak.

Demikian juga literasi dalam bidang teknologi, setiap petunjuk menggunakan bahasa asing, sehingga berkontribusi menggerus Bahasa Batak.

Misalnya kalau kita akan memasak beras, kita menggunakan rice cooker. Padahal dalam bahasa Bataknya bisa saja kita mengatakan: mangalompa boras ni hudon listrik i (memasak beras di pemasak listrik).

Dari sisi kelembagaan pun, baik pemerintah (pusat dan daerah), kumpulan (punguan) marga/bonapasogit, sekolah, maupun gereja, masih kurang dukungan.

Pelajaran Bahasa Batak pun nyaris hilang di sekolah-sekolah. Di tingkat SD, anak-anak dapat belajar bahasa dan aksara Batak. Di tingkat SMP dan SMA dapat ditingkatkan pada literasi dan sastra Batak.

Gereja-gereja bernuansa kesukuan Batak pun makin mengurangi Bahasa Batak sebagai bahasa pengantar komunikasi.

Kebaktian anak, remaja, dan pemuda pun nyaris tidak kita temukan lagi menggunakan Bahasa Batak di Gereja-gereja bernuansa kesukuan Batak.

Jadi kerusakan budaya dimulai dari asalnya. Kerusakan Bahasa Batak pun dimulai dari asalnya. Kitalah, orang Batak, yang memulai hal tersebut. Kita perlu introspeksi diri.

Panusunan Simanjuntak mengatakan bahwa Bahasa Batak itu sangat berharga karena itu sangat dibutuhkan usaha-usaha untuk mempraktekkan Bahasa Batak dalam setiap aspek kehidupan orang-orang Batak.

Djamidin Manurung mengusulkan agar YPDT mendorong Pemda di Kawasan Danau Toba (KDT) membuat kurikulum Bahasa dan Aksara Batak sebagai muatan lokal untuk sekolah-sekolah di sana. (Int)


Tinggalkan Balasan