Ia memberi contoh seorang wartawan menulis tentang korupsi yang dilakukan pejabat publik. Tulisan ini lantas beredar dan banyak yang mencoba mendalami kasus tersebut. Namun caranya justru merusak alat-alat kerja dan merusak nama wartawan perempuan tersebut di media sosial dengan menyasar seksualitasnya, mengutik tentang pribadinya.
Akhirnya secara tidak langsung, wartawan perempuan tadi berhenti melanjutkan berita tersebut karena terganggu di media sosial.
“Hasil survei Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) menunjukkan angka cukup tinggi sebesar 87 persen wartawan perempuan mengalami kekerasan seksual dalam menjalankan tugasnya,” ungkap Ninik.
Ninik juga menyatakan kenapa upaya pencegahan dalam kekerasan terhadap wartawan perempuan terlalu lambat, ternyata dikarenakan ruang pemberitaan yang masih belum bersih.
Masih ada wartawan buat berita perkosaan atau kekerasan terhadap anak perempuan dengan membuat nama inisial korban “Bunga” misalnya. Meski tak menyebut nama korban, tetapi justru orang-orang yang bernama Bunga jadi korban.
Bahkan ada lagi buat berita nama pelaku dibuat jelas, padahal nama pelaku yang jelas dan benar justru jadi pintu masuk untuk mencari nama korbannya.
“Dewan Pers melakukan riset ke banyak kekerasan seksual terhadap perempuan, ternyata masih banyak yang takut melapor,” jelas Ninik.
Tahun 1996, Ninik menyebut dirinya pernah mendampingi kasus seorang anak perempuan diperkosa sama pacarnya. Inipun salah karena pacaran kok diperkosa. Akhirnya si perempuan itu tak diterima keluarganya dan masyarakat. Akhirnya dia masuk ke rumah Doli Surabaya.
“Selama lima tahun dia terus kami dampingi. Perempuan tersebut kini akhirnya bisa diterima keluarga dan masyarakat,” kata Ninik.
Selanjutnya Baca: Ia menambahkan…