Catatan: Jason Gultom
Ada kebanggan tersendiri bagi masyarakat Tapanuli, dimana pada masa keresidenan dahulu, wilayah Tapanuli sudah dipercaya pemerintah saat itu untuk mencetak mata uang sendiri yang diberi nama ORITA (Oeang Repoeblik Tapanuloe). Munculnya kepermukaan tentang uang ORITA ini atas investigasi yang saya lakukan sewaktu saya masih wartawan di harian METRO TAPANULI group dari JPPN.
Timbulnya niat saya untuk melakukan investigasi tentang ORITA ini dikarenakan respon pembaca terkait berita yang pernah saya tulis tentang bukti-bukti sejarah perjuangan masyarakat Tapteng untuk melawan Belanda khususnya di Kecamatan Sitahuis dan Desa Nagatimbul yang berada di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Waktu itu bulan Februai tahun 2008. Saya mendapat telepon dari salah seorang pembaca kami bernama Bagdani Siregar, (62) warga Pasar Belakang, Kecamatan Sibolga Kota, Sibolga. Ia mengaku bahwa mesin cetak ORITA ada di rumahnya. Mendapat informasi tersebut sayapun langsung turun ke kediaman Bagdani.
Menurut penuturan Bagdani Siregar, mesih cetak itu adalah milik sahabatnya Horas Siregar yang merupakan putra pemilik percetakan Philemon Bin Harun Siregar.
“Tahun 2004 lalu kami bersama Horas Siregar sudah sepakat kerjasama untuk membuka percetakan dengan menggunakan mesin cetak uang ORITA. Hanya saja kondisi mesin cetak ini sudah tua, jadi kecepatannya sudah berkurang dibandingkan dengan mesin cetak yang baru. Atas kesepakatan bersama, kami putuskan untuk merememajakan mesin cetak tersebut dengan meminta bantuan dari Wali Kota Sibolga saat itu. Hanya saja Wali Kota mengatakan, bahwa Pemko Sibolga tida memiliki museum untuk menyimpan mesin cetak tersebut,”akunya.
Karena usulan mereka tidak diterima Wali Kota, akhirnya mereka mengajukan proposal ke Bank Indonesia Sibolga. Saat itu pihak Bank Indonesia besedia dan sudah turun ke tempat mereka melakukan pengecekan dan mengambil foto mesin cetak ORITA. Pihak BI berjanji akan berusaha membantu, namun setelah ditunggu sekian lama tidak ada hasil.
“Akhirnya teman saya Horas Siregar berangkat ke Jakarta langsung ke Bank Indonesia. Menurut keterangan BI Jakarta, harus ada klise uang ORITA sebagai bukti bahwa mesin tersebut pernah mencetak uang ORITA. Padahal waktu itu klise uang ORITA terbuat dari serat kayu, dan itu tidak bisa lagi ditemukan. Sejak itulah teman saya Horas Siregar tidak pulang lagi ke Sibolga ini sampai sekarang,”kenang Bagdani.
Karena tidak ada kepastian, lanjut Bagdani, akhirnya mesin cetak ini dititip kepadanya karena ia memiliki gudang yang lumayan lebar sehingga bisa menyimpan alat-alat mesin percetakan.
Lebih lanjut dikatakan Bagdani, setelah membaca berita yang saya tulis di Harian METRO TAPANULI tentang ORITA, ia langsung teringat tentang keberadaan mesin cetak tersebut.
“Sebenarnya saya tidak tahu banyak tentang keberadaan mesin cetak uang ini, karena yang mengetahui sejarah tersebut adalah orangtua teman saya, Bapak Philemon Siregar. Karena merekalan pertama kali yang memiliki percetakan di Sibolga ini. Karena tidak ada yang memperdulikan, mesin cetak ini kami simpan begitu saja di gudang,”ujarnya.
Hasil amatan saya waktu itu, mesin pencetak ORITA itu sudah banyak peralatannya yang berkarat. Mesin cetak itu terdidi dari tiga bagian, dan ketiganya masih tersimpan di gudang milik Bagdani. Sedangkan uang ORITA hasil cetakan mesin itu masih ada tertinggal di gudang.
Saya masih sempat mengabadikan uang pecahan 500 rupiah yang dicetak pada tanggal 5 Januari 1947-1949 nomor seri 45917. Sedangkan pada bagian mesin cetak tedapat tulisan The Chandler and price co Cleveland, ohic USA.
Selain uang pecahan 500 rupiah juga terdapat pecahan uang satu rupiah yang dicetak pada tanggal 25 September 1947, dengan bukti surat keterangan dari Keresidaenan Tapanoeli.
Bagdani Siregar mengharapkan kala itu, agar pemerintah khususnya Pemkab Tapteng dapat memperhatikan keberadaan mesin cetak tersebut, karena jasa mesin itu telah dirasakan masyarakat Tapanuli pada masa penjajahan. Selain itu percetakan uang ORITA berlangsung dulunya di Sitahuis dan itu merupakan bagian wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah.
“Kami berharap agar Pemkab Tapteng menanggapi keberadaan mesin cetak uang ORITA ini sehingga tidak terlantar seperti sekarang ini, karena mesin cetak ini sudah permah memerima pengharagaan berupa piagam dari menteri Pariwisata RI yang menyatakan mesin ini adalah mesin pencetak uang ORITA,”harap Bagdani. (***)
Komentar