Bandung, 15/5 (Batakpost.com)- Pandemi COVID-19 memengaruhi kesehatan mental jurnalis. Hal tersebut tercermin dari hasil survei persepsi diri wartawan saat pandemi COVID-19 yang dilakukan Center for Economic Development Study (CEDS) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Padjadjaran.
Berdasarkan hasil survei tersebut terungkap 45,92% wartawan mengalami gejala depresi. Selain itu, 57,14% wartawan mengalami kejenuhan umum.
Demikian terungkap dalam kegiatan Best Practice Webinar Series yang digelar CEDS FEB Unpad, Prodi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Unpad bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis 14 Mei 2020.
Kegiatan ini menghadirkan Riki Relaksana dan Jorghi Varda dari CEDS sebagai pembicara. Sementara, bertindak sebagai pembahas Dosen Komunikasi UGM dan peneliti jurnalistik Wisnu Martha, Dosen Fakultas Psikologi Unpad Aulia Iskandarsyah, dan Redaktur Pelaksana Pikiran Rakyat Enton Supriyatna Sind.
Dalam pemaparannya Jorghi menyebutkan, survei dilakukan secara dari pada periode 2-10 April. Terdapat 98 wartawan dari berbagai daerah di Indonesia yang turut serta dalam survei tersebut. Dengan domisili terbesar di Pulau Jawa. Survei yang sama juga dilakukan kepada dua kelompok lain, yakni tenaga medis dan mahasiswa.
“Dari hasil survei 45,92% wartawan memiliki gejala depresi jauh lebih tinggi dibandingkan tenaga kesehatan yang hanya 28%. Mereka yang tetap keluar rumah untuk meliput berita lebih banyak mengalami gejala depresi dan memiliki peluang 1,65 kali mengalami depresi dibandingkan wartawan yang tidak keluar rumah untuk meliput berita,” katanya.
Adapun gejala yang dialami diantaranya, ketakutan, mudah terganggu dengan hal yang biasa, tidur gelisah, sulit memusatkan pikiran, merasa tertekan, merasa sendirian, dan berat untuk memulai sesuatu.
“Kami mencoba mengestimasi biaya depresi dari wartawan selama masa pandemic ini dengan menggunakan beberapa pendekatan. Total treatment per tahun per orang dikisaran Rp8,3 juta. Dari responden yang ada, 22 jiwa berisiko dengan biaya perawatan mencapai Rp 183 juta. Ini tentunya harus menjadi perhatian,” ujar Riki Relaksana. (pikiran rakyat)