Lebih lanjut dr Anggaditya menerangkan, hingga kini belum ada data pasti terkait kelompok masyarakat mana yang menjalani pengobatan di luar negeri, baik dari segi lapisan masyarakat maupun lokasi geografis.
“Kita belum punya numbernya mungkin. Harus mempunyai suatu sistem sehingga punya tools untuk melihat yang kita lakukan ini sudah baik atau belum,” pungkasnya.
Dalam kesempatan sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr Adib Khumaidi menjelaskan warga RI yang memilih berobat di luar negeri umumnya memiliki pertimbangan berupa persoalan pajak sampai peta perawatan pasien BPJS Kesehatan.
“Gap yang terjadi antara Indonesia dengan luar negeri, kenapa pembiayaannya lebih murah? Karena masalah utamanya adalah pajak yang perlu jadi perhatian,” katanya saat ditemui di kantor PB IDI, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (9/3).
dr Adib tidak menampik bahwa pembiayaan pelayanan kesehatan di negara tetangga seperti Malaysia lebih murah daripada di Indonesia. Menurutnya, harga yang lebih rendah tersebut berkaitan dengan pajak pada elemen pembiayaan kesehatan.
Terakhir, kendala komunikasi dokter dengan pasien juga memicu sejumlah warga RI lebih memilih berobat di negara lain. Menurutnya ada kemungkinan, beberapa dokter kurang mampu mendengarkan keluhan pasien.
“Komunikasi (jadi masalah), jadi dokter Indonesia sebenarnya dengan komunikasi yang baik, kemudian lebih banyak mendengar keluhan-keluhan pasien, maka itu akan bisa dirasakan,” pungkasnya. (dtc)