Segenap kru batakpost.com mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1445 H/2024, Semoga doa dan usaha kita diterima oleh Allah Swt. Taqabbalallahu minna wa minkum. Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.
EkonomiGaya HidupSamosir

Melihat Budaya ‘Marsisilu’ di Tele

268
×

Melihat Budaya ‘Marsisilu’ di Tele

Sebarkan artikel ini
Marsisilu adalah kegiatan yang dilakukan masyarakat Tele sekitarnya untuk menghilangkan rasa dingin. (batakpost.com/HAT)
Advertisement
Example 300x600
Advertisement

Setiap orang yang datang bertamu ke Desa Tele, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara akan langsung menuju dapur. Hal itu sudah berlangsung dari masa ke masa. Mungkin timbul pertanyaan, kenapa harus ke dapur? Karena memang di daerah ini cuaca cukup dingin baik siang apalagi dimalam hari.

Untuk itulah tidak heran setiap rumah yang ada di desa ini seperti, Desa Hutagalung, Tele, Hara Pintu selalu menyediakan tungku atau dalam Bahasa Batak disebut ‘Tataring’ untuk tempat menghangatkan badan.

Advertisement
banner 325x300
Advertisement


Budaya menghangatkan badan ini atau orang Batak menyebutnya ‘Marsisilu atau Mandadang’ sudah tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.

Tidak heran kayu bakar dan selimut menjadi kebutuhan utama selain pangan di desa ini. Di masing-masing rumah, kayu bakar selalu tersedia dan terus dinyalakan setiap saat. Merekapun akan mengelilingi tungku ini sembari menempelkan telapak tangan dekat api untuk mendapatkan kehangatan.

Begitulah pemandangan dan budaya setiap harinya di desa ini. Walaupun masyarakatnya sudah lama berdomisili di tempat ini, namun mereka masih tetap ‘Marsisilu’.

Mungkin sudah dapat kita bayangkan jika orang luar yang datang bertamu ke daerah ini pasti akan mengigil karena dinginnya cuaca di Tele.

“Luar biasa dinginnya Tele ini. Mulai siang sampai malam dinginnya sangat menusuk tulang. Makanya kami tidak tahan lama berkunjung atau liburan ke Tele ini, karena dingin yang luar biasa,”kata Ibu Ingot yang datang liburan ke Tele.

Untuk memenuhi kebutuhan kayu bayar setiap harinya, masyarakat setempat turun ke hutan untuk mengambil kayu bakar. Bagi yang ekonominya cukup, bisa dengan membeli kayu bakar dengan harga per ikat antara Rp2500-Rp3000.

“Kalau kami selalu turun ke hutan untuk mengambil kayu. Sesudah dikeringkan akan kami simpan di atas tungku, atau orang sini menyebutnya ‘tataring.’ Kwalitas kayu bakar akan semakin bagus kalau disimpan di atas‘tataring.’ Jadi bagi kami masyarakat Tele, bahwa kayu bakar ini sudah menjadi kebutuhan kami setiap saat,”kata Op Marisi Simbolon ketika bincang-bincang dengan batakpost.com di kediamannya.

Untuk memanfaatkan bara api yang terus menyala, biasanya warga memasak air. Dan tidak jarang pula digelar tikar dekat tungku dan berbaring disana.

Selain di rumah-rumah, warung makan di tempat ini juga turut menyediakan hal yang sama bagi para penumpang yang mampir. Karena setiap angkutan yang melintas dari Medan menuju Pangururan dan juga menuju daerah lainnya, selalu istirahat di Tele.

Bagi anda yang belum pernah mampir ke daerah ini, tidak salah untuk mencoba dan merasakan dinginya udara Tele. (***)


Tinggalkan Balasan