Segenap kru batakpost.com mengucapkan Selamat menunaikan ibadah puasa 1445 H/2024, bulan penuh berkah dan ampunan, bersihkan diri, jernihkan hati.
Tapanuli Tengah

Abad ke-16, Bahasa Melayu yang Merupakan Cikal Bakal Bahasa Indonesia Sudah Digunakan di Barus Tapanuli Tengah

184
×

Abad ke-16, Bahasa Melayu yang Merupakan Cikal Bakal Bahasa Indonesia Sudah Digunakan di Barus Tapanuli Tengah

Sebarkan artikel ini
Example 300x600

Barus, 23/11 (Batakpost.com)- Ternyata sejak abad ke-16 Bahasa Melayu sudah digunakan di Kota Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Dan Bahasa Melayu ini merupakan cikal bakal Bahasa Indonesia.

Demikian disampaikan Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud Ristek, Dr Muhammad Abdul Khak bersama Kepala Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara, Dr. Maryanto, M.Hum, dalam acara peresmian Papan Cerita (Storynomics) Hamzah Fansuri Sastrawan Barus Pada Masa Pembibitan Bahasa Persatuan Indonesia, Selasa (23/11) di kawasan jembatan Fansuri Barus, Tapanuli Tengah.

banner 325x300

Tujuan peresmian papan cerita Hamzah Fansuri untuk mengenang nama besar Hamzah Fansuri sastrawan asal Kota Tua Barus (Tapanuli Tengah).

Bupati Tapanuli Tengah, Bakhtiar Ahmad Sibarani didaulat meresmikannya yang disaksikan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud Ristek, dan Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara, serta rombongan peneliti dari beberapa daerah.

Dalam sambutannya Bupati Bakhtiar menyampaikan, bahwa pembangunan jembatan Fansuri di Barus yang sudah diresmikannya tahun lalu, ternyata sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Balai Bahasa. Di mana karya-karya sastra Fansuri sangat dikenal oleh dunia internasional.

“Jadi ada titik temu sejarah antara nama jembatan ini dengan nama besar Fansuri. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada Balai Bahasa yang sudah melakukan penelitian dan kajian ini. Dan barang tentu ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi kami masyarakat Tapanuli Tengah, bahwa sastrawan pembibitan Bahasa Persatuan Indonesia yang sudah dikenal masyarakat internasional berasal dari Barus, yaitu Hamzah Fansuri. Kami berharap akan lahir tokoh-tokoh berikutnya seperti Hamzah Fansuri dari Kabupaten Tapanuli Tengah melalui dunia sastra untuk semakin memperkenalkan Barus ini,” katanya.

Sementara itu, Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud Ristek, Dr Muhammad Abdul Khak menjelaskan, bahwa Hamzah Fansuri sudah menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa sastra jauh sebelum Melayu dalam arti luas menggunakan bahasa Melayu. Tentu dapat dipahami bahwa bahasa Melayu adalah pangkal dari Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

“Dari titik itulah sebenarnya kami hadir di sini untuk menyampaikan kabar kepada seluruh Bangsa Indonesia, bahwa di sini (Barus) pada abad ke-16, Bahasa Melayu itu sudah digunakan yang merupakan cikal bakal Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan,” kata Abdul Khak.

Senada dengan Abdul, Kepala Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara, Dr. Maryanto, M.Hum menambahkan, bahwa sejak tahun 2001 dia bersama tim sudah melakukan penelitian dan kolaborasi dengan berbagai pihak terkait hal tersebut.

Disebutkannya, bahwa Bahasa Indonesia itu bermula dari lima franka, salah satunya ilmu pegetahuan. Dan salah satu tongkat ilmu pengetahuan dalam dunia sastra yang diakui di dunia intenasional sebagai kalangan ahli bahasa atau sastra, adalah Fansuri.

“Fansuri merupakan perintis pemula pemodernan Bahasa Melayu ketika Bahasa Melayu menjadi Bahasa Ilmu Pengetahuan. Dan kita sekarang terus mengembangkan dan memetik hasilnyan menjadi bahasa persatuan Indonesia. Banggalah masyarakat Kabupaten Tapanuli Tengah atas hal ini, dan kiranya lahir generasi-generasi berikutnya (sastrawan) dari Tapanuli Tengah ini seperti yang diharapkan Bupati Tapanuli Tengah, untuk membawa bahasa Indonesia menjadi Bahasa Ilmu Pengetahuan di tingkat dunia internasional,” ujarnya.

Dia juga menjelaskan, bahwa Bahasa Persatuan Indonesia itu mengikat Kebhinekaan. Dan kalau berbicara Kebhinekaan, itu sudah terjadi di Barus mengingat dulu interaksi berbagai suku bangsa ada di Barus. Dan itu adalah hasil pengamatan (empiris).

Dia pun tidak menampik, bahwa titik pertumbuhan Bahasa Melayu menjadi bahasa, itu ada di mana-mana. Tetapi salah satu titik yang menunjukkan bahwa di Baruslah pembibitan awal-nya.

“Kita tidak mengabaikan kebenaran bahwa ada titik pertumbuhan Bahasa Melayu di Aceh, di Pesisir Timur, sampai ke Sabang dan Ternate. Itu adalah satu titik-titik perkumpulan Bahasa dari Melayu. Tetapi pembibitan awal itu bisa kita lihat di Barus ini, yaitu melalui karya dari Fansuri yang telah diakui dunia internasional, bahwa dialah (Fansuri) perintis Bahasa Melayu saat itu. Dan itu bisa dibaca dalam buku Tasawuf yang Tertindas (Kajian Heremeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri) oleh Prof Dr. Abdul Hadi W.M.” Pungkas Maryanto.

Peresmian Papan Cerita (Storynomics) Hamzah Fansuri ini turut dihadiri Dwi Sutana, M.Hum (Kepala Balai Bahasa Sulawasi Utara), Dr. Muhammad Luthfie Baihaqi, Dr. Arie Andrasyah Isa, M.Hum, Dr. Eva Krisna, M. Hum. Wakil Bupati Tapanuli Tengah, Darwin Sitompul, Ketua DPRD Tapteng Khairul Kiyeni Pasaribu, Wakil Ketua DPRD Tapteng, Willy Sahputra Silitonga, para pimpinan OPD Tapanuli Tengah, tokoh masyarakat Barus dan juga masyarakat. (red)